Puja Mandala : Sebuah Miniatur Kerukunan
Eksistensi rumah – rumah ibadath di
pelataran bukit Kampial Nusa Dua, tidak bisa tidak dikaitkan dengan
aspek kepariwisataan di pulau Bali pada umumnya dan Nusa Dua khususnya.
Memang ada pelbagai faktor yang bisa menjadi alasan didirikannya
kompleks rumah – rumah doa di Nusa Dua, tetapi segi pariwisata secara
nyata menjadi alasan utama keberadaannya.
Pesona Bali, negeri seribu pura,
telah menarik perhatian para wisatawan mancanegara untuk berkunjung.
Keunikan budaya dan daya tarik pulau ini telah menjadikannya sebagai a living monument:
sebuah monument hidup yang tak lekang dimakan zaman. Bali mempunyai
ciri khas tersendiri walau memiliki heterogenitas penduduk. Mereka
berkumpul menjadi satu, baik untuk berwisata, bekerja, ataupun untuk
kepentingan lainnya. Mereka hidup bercampur baur dan berinteraksi satu
sama lain. Perbedaan yang ada tidak menjadi penghambat untuk tetap
berusaha saling menghargai. Kebudayaan Bali tetap ajeg adanya. Selain
faktor budaya, faktor lain yang menjadi andalan dan daya tarik Bali
adalah keindahan alam yang didengung-dengungkan sebagai “surga” dunia.
Secepat kilat Bali pun menjadi aset pemasok devisa Negara terbesar di
luar sektor non-migas.

Bali
ada dengan segala keunikan yang melekat di dalamnya. Salah satu
keunikan itu adalah kompleks perumahan ibadat Puja Mandala, Nusa Dua.
Berbicara mengenai Puja Mandala, kita tidak bisa memisahkan diri dari
PT. Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Secara umum,
BTDC Nusa Dua memiliki sejarah keterlibatan yang intens dalam
pengembangan kepariwisataan sehingga menjadikan Nusa Dua sebagai salah
satu kawasan Pariwisata terbaik di dunia. Tidak dapat disangkali bahwa
pihak PT. BTDC dalam perjalanan sejarah pengelolaanya telah menjadikan
kawasan wisata Nusa Dua sebagai sebuah ide inovativ yang pertama di
Indonesia. Bukit doa Puja Mandala merupakan salah satu bentuk
partisipasi riil BTDC dalam usahanya membawa Nusa Dua sebagai daerah
elit kepariwisataan. Berawal dari keinginan umat Islam untuk mendirikan
masjid di Nusa Dua. Namun, karena izin sulit didapatkan dengan alasan
tidak memenuhi syarat pendirian bangunan ibadah yang harus mempunyai 500
KK, akhirnya keinginan itu belum dapat dilaksanakan. Pihak MUI bersama
Yayasan Ibnu Batutah kemudian datang ke Jakarta untuk meminta
persetujuan. Akhirnya, ada inisiatif dari Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi, yang saat itu dijabat oleh Joop Ave, untuk membangun
tempat ibadah kelima agama di satu kompleks. Ide ini didapat atas dasar
keinginan presiden Soeharto yang menginginkan adanya tempat ibadah
kelima agama yang berdiri di satu tempat. Pihak PT. BTDC lalu
menghibahkan bantuan berupa tanah untuk membangun kelima tempat ibadah
tersebut. Tanah itu dibagi sama besar dan luasnya. Selanjutnya, untuk
pendirian bangunan diserahkan sepenuhnya kepada umat masing-masing
agama, dengan aturan pendirian bangunan tersebut harus sama tingginya.
Puja Mandala Nusa
Dua mulai dibangun tahun 1994. Tahun 1997, Puja
Mandala Nusa Dua secara resmi disahkan oleh Menteri Agama Bapak Tarmidzi
Taher. Saat itu hanya ada Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa,
Gereja Kristen Protestan Bukit Doa dan Masjid Ibnu Batutah yang sudah
selesai pembangunannya. Wihara Budhina Guna (Budha) baru selesai
pembangunannya pada tahun 2003. Sementara itu, proses pembangunan Pura
Jagat Natha baru dirampungkan beberapa tahun lalu. Untuk sampai ke
tempat ini, sekitar 12 km dari Bandara Ngurah Rai ke arah Nusa Dua,
tepat di desa Bualu, kecamatan Kuta Selatan, Badung. Tujuan awalnya,
semata-mata untuk memfasilitasi ibadah wisatawan yang menginap di
belasan hotel yang berada di kawasan wisata Nusa Dua. Tapi seiring
perjalanan waktu, kompleks Puja Mandala telah menjadi sarana ibadat para
jemaatnya di daerah Nusa Dua dan sekitarnya, serta menjadi salah satu
tempat kunjungan wisata rohani bagi para wisatawan.
Kini, Puja Mandala menjelma menjadi miniatur kerukunan hidup beragama di Indonesia: sebuah relasi harmonis yang sungguh
hidup dan dinamis, lahir dari relung jati diri masyarakat pendukungnya.
Keberadaannya bukan sebatas simbol kaku, tak terawat serta sekedar
artifisial semata. Di halaman kompleks Puja Mandala toleransi hakiki
terjalin dalam suasana informal, lumrah, dan terinternalisasi dalam
keseharian hidup. Di sini, perayaan ekaristi seringkali diselingi suara
adzan magrib, atau shalat Jumat tetap digelar walau tanpa pengeras suara
pada saat Hari Raya Nyepi. Hanya di sini pula, rumah – rumah ibadat itu
dibangun tanpa sekat pemisah, memiliki satu halaman, cermin kebhinekaan
yang ika.
Gereja
Katolik Maria Bunda Segala Bangsa adalah setitik pemersatu dari
kemajemukan di atas. Ia telah menabiskan dirinya sebagai tempat umatnya
mengangkat hati ke hadirat Ilahi, berjumpa dalam nada kehangatan, serta
membagi kisah satu sama lain. Nama ini diilhami oleh penampakan Bunda
Maria di Amsterdam, Belanda, yang menghendaki disapa sebagai Bundanya
Para Bangsa. Bersandingkan nama Maria Bunda Segala Bangsa dan sesuai
dengan namanya, umat stasi Gereja MBSB berasal dari berbagai
latarbelakang suku yang ada di Indonesia, maupun umat mancanegara yang
melakukan perjalanan bisnis atau berlibur. Maka, tidaklah berlebihan
kalau gereja Katolik MBSB menjadi miliknya para bangsa.
Subscribe My Blog